Part 1 – Pertemuan Kembali

29840724-256-k263954

“Kau harus menikah! Dengan rekan bisnis Papa.” Kharina bergeming saat ayahnya mengucapkan-yang ia tangkap sebagai perintah-kalimat tersebut. Ia tidak perlu memberikan tanggapan apapun, karena ia yakin apapun jawabannya, ayahnya tidak akan pernah peduli. Sekalipun ia menolak, ayahnya tidak akan pernah menghentikannya. Ia terlalu kenal dengan sifat ayahnya itu.

“Kau dengan tidak, Kharina?” tanya ayahnya lagi. Gadis itu masih memilih untuk tidak berkomentar sampai suara ayahnya terdengar lagi, “Jawab kalau Papa bertanya, Rin!” Samuel-ayah Kharina-tampak tidak sabar lagi menanti jawaban putri tunggalnya itu.

“Aku tidak peduli! Terserah kalian ingin menikahkan aku dengan siapapun! Bukankah aku memang tidak memiliki hak apapun untuk menentukan hidupku?”

PLAK!

“PA!” teriak Yuliana-ibu Kharina-spontan saat melihat suaminya menampar putri mereka.

“Berani-beraninya kau membentakku, Rina! Kau pikir kau bisa apa tanpa papamu ini?” Samuel semakin beremosi.

Kharina memegang pipi kirinya yang terasa berdenyut karena tamparan ayahnya, namun gadis itu tidak menitikkan air mata bahkan sedikitpun. Hatinya sudah mati bersamaan saat ayahnya memaksanya memutuskan pria yang dicintainya.

“Terserah Papa,” ucap Kharina pelan lalu gadis itu berlalu menuju kamarnya, meninggalkan kedua orangtuanya dan segala emosinya.

***

Kharina mematut dirinya di depan cermin. Ia tampak begitu menyedihkan. Walaupun wajahnya telah dilapisi make up tipis hasil polesannya sendiri, namun itu semua tetap tidak dapat menyembunyikan keadaannya yang kacau. Setelah pertengkaran dengan ayahnya tadi malam, ia benar-benar tidak dapat memejamkan matanya sama sekali.

Ia terjaga sepanjang malam karena ingatan tentang pria itu kembali terkuak. Memori yang mati-matian ia kubur namun tidak pernah berhasil dan ia sadar ia tidak akan pernah bisa menghapus pria itu dari pikirannya sama sekali. Pria yang terlalu dicintainya. Dan pria yang juga hancur karena dirinya.

Ia sama sekali tidak bisa menghilangkan ingatan tentang tatapan terluka pria itu kala itu yang disebabkan olehnya. Kharina merasa sesak. Seharusnya sejak awal Kharina tidak perlu belajar mati-matian demi mendapatkan beasiswa untuk memasuki universitas yang diinginkannya. Bahkan tanpa beasiswa kedua orangtuanya tetap mampu membiayainya. Seharusnya ia menuruti keinginan orangtuanya untuk masuk ke universitas pilihan mereka. Seharusnya ia menolak saat sahabatnya memaksa untuk menjadi anggota senat di kampus itu. Terlalu banyak “seharusnya” yang terlintas di benak Kharina sehingga ia tidak perlu mengenal pria itu yang menyebabkan segala kesakitan ini. Tapi semua terlanjur terjadi dan Kharina tidak bisa mundur lagi.

 Aku harus bagaimana? batin Kharina lirih.

Suara ketukan membuat Kharina tersadar dari lamunannya. Tanpa menoleh, ia bahkan tahu siapa yang datang. Pintu itu terbuka tanpa perlu ia persilakan.

“Rin, kau sudah bersiap-siap?” Yuliana menutup kembali pintu kamar putrinya itu. Wanita itu berjalan dan berdiri di belakang putrinya yang sedang mematut kaca dengan pandangan datar. Yuliana tersenyum dan membelai rambut anak gadisnya dengan sayang.

“Rin, mama mohon. Turutilah permintaan papamu kali ini saja,” ujar Yuliana sedih. Kharina membalikkan tubuhnya dan mendongak menatap mamanya.

“Ma, aku sudah berkali-kali menuruti permintaan papa! Harus berapa kali lagi aku mengorbankan perasaanku, Ma?”

“Rin-“

“Apa aku bukan anak kandung kalian sampai-sampai Papa tega memperlakukanku seperti ini? Aku juga manusia, Ma! Aku punya perasaan dan kalian tidak pernah mengerti bagaimana sakitnya aku.” Akhirnya pertanyaan yang sejak dulu ingin ia tanyakan berhasil dilontarkannya. Cairan bening meleleh berhasil melewati pelupuk matanya.

“Kharina!” Yuliana tampak panik. “Jangan pernah mengucapkan hal-hal seperti itu lagi, Rin! Kamu itu anak kandung Papa dan Mama. Kami menyayangimu dan akan selalu seperti itu. Jangan pernah berpikir kami tidak mencintaimu, Rin,” desis Yuliana dan kembali meletakkan wajah putrinya sebatas pinggangnya. Kedua tangan Kharina melingkari tubuh ibunya.

“Lalu kenapa Papa selalu bertindak seenaknya tanpa memikirkan perasaanku, Ma? Aku sakit hati. Aku marah dan aku sangat kecewa kepada Papa, Ma.” Isakan Kharina semakin kuat karena tidak kuat menahan sesak yang dipendamnya.

“Rin… Papa begitu mencintaimu. Papa bahkan paling tegang menanti kehadiranmu saat mama berjuang melahirkanmu. Dan saat kau benar-benar lahir di dunia, papamu bahkan tidak henti-hentinya tersenyum dan memelukmu dalam gendongannya. Papa bahkan tidak melakukan hal-hal manis tersebut saat mama mengandung Kak Andre dan Kak Andrian.” Kharina semakin membenamkan wajahnya di perut ibunya.

“Papa melakukan semua ini karena ia sangat menyayangimu. Ia tidak ingin putri kesayangannya salah langkah dalam hidupnya. Ia menggunakan segenap kemampuannya untuk melindungimu, Rin. Mungkin kau merasa Papa tidak memikirkan perasaanmu, tapi percayalah kepada mama, Papa ingin yang terbaik untukmu.” Yuliana menarik pelan wajah Kharina dari tubuhnya agar dapat memandang langsung wajah putrinya.

“Rin. Mama mencintaimu.  Lihatlah, karena menangis, makeup mu luntur. Sekarang, basuhlah wajahmu dan riaslah ulang. Mama menunggumu di bawah. Kita akan berangkat sepuluh menit lagi. Jangan membuat Papamu menunggu terlalu lama, ya?” Yuliana tersenyum kepada putrinya disambut oleh anggukan pelan Kharina.

***

Kharina terus menggenggam jari tangannya sampai buku-buku tangannya memutih, berusaha mengusir rasa gugup yang memenuhi rongga hatinya sejak masuk ke ruangan privat yang telah dipesan ini. Walaupun ibunya telah berpesan untuk tidak gugup karena makan malam ini belum membicarakan masalah pernikahan, hanya perkenalan kedua pihak keluarga dan kedua calon pasangan.

Yuliana yang melihat tingkah putrinya, menggenggam tangan Kharina, secara tidak langsung memberi suntikan kekuatan untuknya. Kharina mendongak dan menatap ibunya yang dibalas senyum manis Yuliana.

Kegiatan mereka terinterupsi saat pintu dibuka dan memperlihatkan kedua orang yang tampak sebaya dengan Samuel dan Yuliana. Kharina dan kedua orantuanya berdiri dan memberi salam kepada mereka.

“Maaf kami terlambat. Tadi jalanan benar-benar macet,” ujar Nyonya Fany. “Haha… Tidak masalah. Kami juga belum lama tiba,” jawab Samuel berbasa-basi.

“Jangan menyalahkan jalanan, kita tidak akan terlambat jika kau tidak berdandan terlalu lama,” canda Tuan Alex, suami Nyonya Fany. “Ah kau ini, membuatku malu di depan besan saja.” Ucapan Nyonya Fany mengundang gelak tawa kedua orang tua Kharina, sedangkan gadis itu hanya tersenyum samar.

“Silakan duduk,” ujar Alex. “Putraku sedang memarkirkan kendaraannya. Restoran ini benar-benar ramai sehingga ia kesulitan mendapatkan tempat parkir,” terang Fany. “Tidak masalah, Fany,” jawab Samuel.

Fany mengalihkan pandangannya dan mendapati sosok Kharina yang hanya tersenyum dengan percakapan mereka. “Jadi ini Kharina, putrimu, Sam?” tanya Fany retoris, yang dijawab dengan anggukan Samuel.

“Dia bahkan lebih cantik daripada di foto, Sam!” pekik Fany senang, membuat Kharina tersenyum malu.

“Terima kasih, Tante,” ucap Kharina tulus

Sepertinya menyenangkan memiliki ibu mertua sepertinya, ia tampak sangat ramah, batin Kharina.

“Maaf, aku terlalu lama,” ucap seorang pria yang baru membuka pintu. Membuat seluruh orang yang berada di ruangan tersebut memfokuskan pandangan terhadap pria muda itu. Kharina-begitu juga Samuel dan Yuliana-terbelalak saat pria itu mengangkat kepalanya lalu menatap lurus kepada Kharina.

Kharina merasakan pasokan oksigen menuju tubuhnya berhenti saat itu juga. Gadis itu memegang lehernya yang terasa tercekik.

“Kemari Ben, beri salam kepada Om Samuel dan Tante Yuli,” ujar Fany yang tidak menyadari perubahan sikap ketiga orang yang duduk berseberangan dengannya.

“Selamat malam, Om dan Tante.” Pria itu tersenyum mengejek kemudian melirik Kharina yang tidak berani menatapnya. Samuel dan Yuliana tampak shock, tidak menyangka putra Alex dan Fany adalah pria yang putri mereka cintai. Pria itu kemudian menarik kursi kosong yang berhadapan langsung dengan Kharina.

“Maaf Om, Tante. Rina permisi ke kamar mandi dulu,” ujar gadis itu parau. Tubuhnya bergetar hebat, ia bahkan menjatuhkan sendok saat bangkit dari kursinya. Gadis itu tampak linglung saat berjalan kearah pintu dan menutupnya membuat Alex dan Fany menatapnya bingung.

“Putrimu sedang sakit, Sam? Ia tampak kurang sehat,” tanya Fany.

“Biasa. Mungkin ia hanya gugup,” jawab Samuel lalu memasang senyum selebar mungkin, diikuti Yuliana, berusaha menutupi kegugupan diri mereka berdua.

“Pa, Ma, Benny permisi dulu. Ponsel Benny tertinggal di mobil.” Benny memasang senyum mengejek saat memandang ke arah Samuel dan Yuliana. “Om dan Tante, permisi.”

“Ah, ya silakan.”

***

Kharina mematut wajahnya di depan cermin. Berusaha menenangkan tubuhnya yang tidak berhenti bergetar sejak berada di dalam ruangan. Ya Tuhan, apa yang harus ia lakukan. Mengapa dunia terasa begitu sempit.

Mengapa dulu ia dipertemukan dengan pria itu lalu mereka harus dipisahkan dengan cara yang kejam. Kharina sudah berusaha merelakan pria itu. Lalu mengapa ia merasa takdir sedang mempermainkannya? Mengapa mereka harus kembali dipertemukan seperti ini. Apa yang harus ia lakukan. Bagaimana bisa pria itu berada di sini.

Kharina membuka keran air tanpa melakukan apa-apa terhadap air yang mengalir itu. Ia tidak bisa terlalu lama di sini. Tidak sopan meninggalkan tamu ke kamar mandi terlalu lama. Kharina memejamkan matanya dan menarik napas dalam-dalam. Setelah ia merasa cukup tenang, ia memutar kembali keran air yang ia hidupkan tadi.

Kharina memantapkan dirinya berjalan meninggalkan kamar mandi. Kharina hendak melangkahkan kakinya saat lengannya ditarik seseorang dan mendorongnya ke tembok. Kedua  tangan gadis itu dikunci oleh tangan pria itu.

“B-b-benny?” ucap Kharina tidak percaya pada pandangannya saat ini.

“Kenapa? Kau tidak menyangka aku di sini? Hmm? Kecewa melihatku menjadi seorang putra pewaris? Atau kau kecewa aku sudah tidak bisa diinjak-injak lagi olehmu, hmmm?” Pria itu mengeluarkan senyum mengejeknya.

Kharina menggelengkan kepalanya kuat. “Tidak Ben! Aku tidak seperti itu!”

“Tidak seperti itu? Hmmm.. Baiklah…” Pria itu mendekatkan wajahnya ke leher jenjang Kharina dan menghujaninya dengan kecupan, membuat gadis itu memberontak.

“B-bennn! Apa yang kau lakukan!” Kharina memutar kepalanya ke sana kemari, berusaha menghindari pria itu. “Diam,” desis Benny kemudian melanjutkan aksinya.

“Ben, aku mohon,” lirih Kharina sambil terus memberontak. “Aku bilang DIAM!” bentak pria itu emosi. “Kenapa kau menolakku, hah? Bukankah kau tidak menolakku dulu? Atau kau sudah memiliki laki-laki lain?”

“Ah! Aku lupa wanita sepertimu wajar saja kalau memiliki banyak kekasih,” ejek pria itu.

“Aku tidak seperti itu!”

“Baik! Kalau begitu kau harus menerima pernikahan ini. Kita akan membuktikan apakah kau masih perawan atau tidak,” ujar pria itu vulgar. “Kalau kau menolak, maka kau akan segera melihat kehancuran perusahaan orangtuamu sendiri,” bisik Benny di telinga gadis itu. Pria itu melepaskan kedua tangan Kharina dengan kasar kemudian merapikan jasnya dan berlalu begitu saja, meninggalkan Kharina yang begitu hancur dengan penghinaan pria itu tadi.

***

Apa pendapat kalian tentang cerita ini? Tolong diberi komentar dan vote nya…. Nantikan part selanjutnya….  Thank youuuu

>Cerita ini juga aku publikasikan di akun wattpadku @erseunggi

Leave a comment